Quarter life crisis jika diartikan secara harfiah maka kita mengerti bahwa yang dimaksud oleh istilah itu adalah krisis kehidupan pada satu perempat masa kehidupan. Kemudian akan muncul pertanyaan: “krisis kehidupan yang seperti apa?” hal ini wajar mengingat banyak sekali krisis yang muncul dalam kehidupan secara umum. Merujuk pada artikel yang ditulis sebelumnya, kita dapat memahami QLC ini mengarah pada krisis eksistensi yang mulai mempertanyakan makna mengenai kehidupan dan keberadaan diri kita di kehidupan ini. Lalu biasanya kapan ini akan muncul? Jika kita melihat data life expectancy yang dirilis oleh PBB. Maka kita dapat melihat angka 72. Artinya rata-rata rentang kehidupan masyarakat Indonesia adalah 72 tahun. Satu perempat dari 72 tahun adalah 18 tahun yang mana usia itu sudah memasuki masa transisi remaja menuju dewasa. Biasanya QLC ini berada pada rentang usia 18 sampai 30 tahun di mana seseorang akan benar-benar memasuki fase usia dewasa.
Hal yang mungkin mengganggu adalah apakah krisis ini akan selalu muncul ketika seseorang memasuki usia-usia transisi dari remaja menjadi dewasa? Tentu saja tidak! dari survey yang dilakukan Gramedia, dari rentang usia 25-33 tahun ada sekitar 75% yang mengalami QLC. Hal ini terjadi karena pertemuan dua faktor yang sangat penting yaitu: tekanan dari lingkungan dan juga kekuatan mental seseorang. Kita mungkin bisa membayangkan dengan mudah apabila ada seseorang dengan tekanan dari lingkungan yang tinggi kemudian bisa terjebak ke dalam QLC. Akan tetapi pada kenyataannya kekuatan mental seseorang sangatlah beragam sehingga walaupun tekanan dari lingkungan sangat tinggi ada yang pertahanan mentalnya masih kuat dan tidak masuk pada krisis eksistensi.
Ketika seseorang mengalami QLC itu sama dengan dia mengalami runtuhnya sebuah pertahanan mental hingga mempertanyakan eksistensi hidupnya. Untuk keluar dari krisis tersebut juga bukan sesuatu yang instan melainkan sebuah perjalanan mental dengan tahapan-tahapan tertentu. Ada 4 tahapan yaitu: merasa terjebak, perpisahan, refleksi dan penerimaan. Pada tahapan pertama ini biasanya sering juga disebut dengan istilah “galau”. Banyak remaja yang akan masuk ke usia dewasa mengalami “galau” ini, dikarenakan terjebak pada suatu situasi yang membingungkan. Contohnya, ketika kita terjebak dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat kita, suasana kerja yang penuh tekanan ditambah lagi dengan gaji kecil. Merasa tidak kuat tapi bingung untuk resign khawatir akan sulit mendapat pekerjaan yang baru. Hal yang sama juga mungkin terjadi pada beberapa remaja yang terjebak dengan toxic relationship akan tetapi untuk mengakhirinya khawatir untuk mencari jodoh akan sulit.
Tahapan kedua adalah perpisahan. Pada tahapan ini sebenarnya tidak bisa dikatakan semua orang yang mengalami QLC akan memasukinya. Pada tahapan ini di mana seseorang sudah siap mengambil keputusan dan menerima segala macam konsekuensinya. Perpisahan sendiri merupakan perpisahan dengan rasa galau yang hinggap di tahapan awal. Contohnya saja seseorang memutuskan untuk mengakhiri toxic relationship dan siap dengan resiko dia akan mengalami kesendirian sampai entah kapan. Akan tetapi kembali lagi pada penjelasan saya di awal bahwa kondisi mental seseorang tidak dapat diukur, bisa jadi saja ada yang terjebak dengan toxic relationship dan tidak pernah berpisah dengan kegalauannya hingga benar-benar sepenuhnya terjebak.
Tahap yang ketiga adalah refleksi di mana orang-orang yang terkena QLC ini biasanya mulai melakukan dialog dengan dirinya sendiri dan mencoba untuk merubah jalan pikiran mereka. Hal ini juga sebenarnya dilakukan untuk berpisah dengan kegalauan yang dialaminya. Contohnya pada orang dengan toxic relationship yang saya katakan di awal, dia akan mulai melakukan dialog dengan dirinya sendiri. Hal pertama yang akan ditanyakan olehnya adalah “kenapa dia terjebak dalam situasi sulit ini?” kemudian dia akan menemukan bahwa itu semua dikarenakan perasaannya yang takut akan kesendirian atau menjadi jomblo abadi. Kemudian dia bertanya lagi dari mana dia menyerap konsep jomblo abadi itu? Ternyata dia menyerapnya dari meme yang beredar di social media. setelah dia menemukan akar permasalahannya, dia harus berpisah dengan pemikiran tersebut dan mulai menambatkan jalan pikirannya pada sesuatu yang lebih menenangkan. Bisa saja dengan dia mempertebal keyakinan bahwa Tuhan sudah menciptakan manusia berpasang-pasangan sehingga ketika dia putus maka aka nada lagi penggantinya tentu yang lebih baik.
Kemudian tahapan yang terakhir adalah penerimaan. Pada tahapan ini biasanya seseorang yang berhasil melewati fase refleksi maka akan bisa lebih menerima kehidupan dan naik turunnya. Akan tetapi kembali lagi kondisi dan kekuatan mental seseorang tidak bisa disamakan. Sehingga ada yang terjebak pada tahap pertama. Ada yang berhasil sampai tahap ketiga tapi kemudian melakukan denial dan kembali lagi terjebak. Dalam kondisi seperti itu tentu ada baiknya untuk mencari bantuan dengan konsultasi bersama psikolog.
Penulis: F. Anjarsari
Editor: Febi Fidhiyanti P.
Referensi:
Ikhsan Aryo Digdo. Ketahui 4 Tahapan Quarter Life Crisis. Retrieved from MerahPutih.com: https://merahputih.com/post/read/ketahui-4-tahapan-quarter-life-crisis
Comments