top of page
Writer's pictureWomen's Empowerment Indonesia

“Mengapa Korban Kekerasan Seksual Cenderung Diam?”

Sumber Gambar: www.pexels.com/id-id/foto/teks-6003404/


Kasus kekerasan seksual merupakan salah satu topik pembicaraan yang selalu ramai dan hangat dibicarakan. Tidak hanya menimpa perempuan, laki-laki juga seringkali menjadi korban dari tindak kekerasan seksual. Sebenarnya apa itu kekerasan seksual? Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan/aktivitas seksual yang dilakukan seseorang kepada orang lain secara paksa atau tanpa asas konsensual (persetujuan). Dari banyaknya kasus yang telah terjadi, dapat dikatakan bahwa kasus kekerasan seksual sangat variatif dan kompleks. Modusnya pun semakin di luar nalar. Dikarenakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat terbilang cukup tinggi dan tidak memandang usia, kondisi tersebut dipandang perlu untuk membuat edukasi seksual sejak dini bagi anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa sekalipun.

Bicara soal kekerasan seksual, pelecehan seksual merupakan salah satu bagian dari kekerasan seksual yang sering dianggap tidak serius oleh kebanyakan orang. Tindakan ini tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk verbal (lisan). Biasanya, pelecehan seksual secara verbal sering terjadi tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan. Tidak selalu berkaitan dengan hubungan seks, pelecehan seksual dapat terjadi dalam bentuk apapun. Salah satu hal yang sering dianggap biasa ialah memberikan komentar, gurauan, rayuan, atau penghinaan yang bernada seksual. Kasus ini sering dianggap sebagai hal sepele, namun sebenarnya, kejadian seperti ini sudah termasuk dalam kategori pelecehan seksual.

Namun, banyak kasus pelecehan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa yang terjadi. Dampak dari hal tersebut ditandai dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa kekerasan atau pelecehan seksual yang mereka alami. Di samping itu semua, perlu dipahami bahwa dampak fisik dan psikologis yang dialami korban kekerasan seksual sangat berbahaya dan sensitif. Tidak sedikit korban yang mengalami penderitaan secara fisik dan trauma yang mendalam. Selain itu, stres yang dialami korban dapat mengganggu fungsi dan perkembangan otak si korban. Kecemasan, depresi, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), hingga risiko bunuh diri juga dapat menyusul masuk ke dalam pikiran korban.

Selanjutnya, dampak yang tidak seharusnya didapat korban, yakni dampak sosial. Korban kekerasan dan pelecehan seksual sering mendapat komentar pahit dalam kehidupan sosialnya. Hal ini seharusnya dihindari karena korban tentu membutuhkan motivasi dan dukungan untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya. Mereka adalah korban, mengapa mereka yang disalahkan, dikucilkan, bahkan dijauhi? Inilah yang menjadi alasan korban jarang speak up dan cenderung memilih untuk diam. Mereka sudah memiliki pikiran bahwa, ketika mereka menceritakan kejadian yang dialaminya, mereka hanya akan mendapat jawaban “Ah, gitu doang,”, “Jangan lebay,”, “Nggak perlu dibesar-besarin deh masalah kayak gitu,”, dan berbagai jawaban yang membuat korban menjadi ciut lainnya. Adanya stigma negatif yang diberikan membuat korban merasa tidak memiliki tempat yang aman dan mendukung mereka.

Dikutip dari jurnal berjudul “Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis” karya N.K. Endah Triwijati, banyak faktor yang mendasari mengapa korban kesulitan untuk dapat mengidentifikasi dan menerima pelecehan seksual yang ia alami, yaitu:

  1. Kebingungan (tidak tahu bagaimana harus menggambarkan pada dirinya sendiri tentang apa yang terjadi)

  2. Rasa malu dan bersalah pada peristiwa yang terjadi

  3. Sikap mempersalahkan diri sendiri dan dipersalahkan oleh orang lain

  4. Memposisikan korban menjadi “yang bersalah” (seperti atribusi cara berpakaian, gaya hidup, dan kehidupan pribadi)

  5. Rasa dipermalukan (tidak bisa menerima ide bahwa ia adalah korban, atau perasaan bahwa seharusnya ia dapat menghentikan pelecehan itu)

  6. Penyangkalan (tidak mau percaya bahwa hal itu sungguh terjadi)

  7. Minimizing atau defence mechanism (mengatakan pada diri sendiri bahwa hal tersebut bukan persoalan besar)

Banyak korban bersikap demikian karena orang lain mengatakan ia harus begitu, atau takut terhadap balasan yang akan dilakukan pelaku selanjutnya (seperti victim blaming), hingga pemikiran takut diasingkan atau tidak disukai lingkungan. Selain itu, korban-korban kekerasan atau pelecehan seksual juga sering dibebankan pada bukti. Padahal, kasus-kasus seperti ini berada di wilayah privat, tidak banyak saksi yang tahu. Berbagai hal di atas merupakan beberapa dari banyak alasan mengapa korban kekerasan atau pelecehan seksual memilih untuk diam. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pun pernah menyampaikan bahwa perempuan korban kekerasan seksual cenderung enggan melaporkan kasusnya.

Jika diperhatikan, banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang baru terungkap bertahun-tahun setelah kejadian. Dalam waktu selama itu korban hanya bisa menahan, menyimpan, dan merutuki dirinya sendiri. Mengumpulkan keberanian untuk speak up saja susah, maka dari itu tugas kita adalah menghargai dan mendukung mereka. Sebenarnya apa saja yang bisa kita lakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual? Jawabannya, banyak. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa pelaku adalah orang yang seharusnya diberi edukasi dan berhenti melakukan berbagai hal sembrono yang dapat merugikan orang lain.




Referensi:

37 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page