top of page
Writer's pictureWomen's Empowerment Indonesia

Masih Anak-Anak Kok Sudah Menikah?

Updated: Oct 25, 2021

Penulis : Defara Dhanya

Editor: Setyoningsih Subroto


“Apa sih pernikahan dini itu?”

“Masih anak-anak kok sudah menikah?”

“Kok bisa sih? Apa yang menyebabkan terjadinya hal tersebut?”

“Adakah dampak tertentu jika melakukan praktik pernikahan dini?”

Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul jika kita membicarakan soal pernikahan dini.



Pernikahan dini dapat diartikan sebagai praktik pernikahan atau perkawinan yang dilakukan bagi siapapun yang belum mencapai usia batas pernikahan. Melalui peraturan perundang-undangan Nomor 19 Tahun 2019, batas usia minimal perkawinan di Indonesia telah berubah dari 16 tahun (UU No. 1/1974) menjadi 19 tahun. Hal ini penting untuk dipahami lantaran pernikahan dini meningkatkan risiko pada masa kehamilan dan persalinan. Tidak hanya bagi calon ibu namun juga bayinya. Meskipun demikian, praktik pernikahan dini tetap marak terjadi di Indonesia. Tingginya usia perkawinan pertama akan mempersingkat masa reproduksi si calon ibu. Hal ini berarti peluang tingkat kelahiran akan rendah. Jika dibandingkan, kehamilan dan persalinan di bawah usia 19 tahun memiliki risiko 5 kali lebih besar daripada usia 20-24 tahun.


Data United Nations Children’s Fund (UNICEF) menunjukkan bahwa pada tahun 2014, lebih dari 700 juta perempuan di dunia telah melakukan praktik pernikahan sebelum berusia 18 tahun. Bahkan, sekitar 250 juta atau sepertiga di antara mereka pun belum mencapai usia 15 tahun. Berdasarkan data United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) tahun 2016, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kejadian pernikahan dini yang tergolong tinggi yakni sebesar 34%. Bahkan Indonesia menempati urutan ke-37 dari 158 negara di dunia yang masih melakukan praktik pernikahan dini. Sementara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan kedua setelah Kamboja dengan persentase sebesar 23%. Fakta yang diperoleh yakni sebanyak 1 dari 4 anak perempuan sudah menikah sebelum memasuki usia 18 tahun.


Tanpa kita sadari, pernikahan dini semakin marak dengan merebaknya virus Covid-19. Melalui siaran pers, Komnas Perempuan menyatakan bahwa selama pandemi telah terjadi lonjakan perkawinan anak hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dispensasi perkawinan melonjak dari sekitar 23 ribu menjadi 64 ribu di Pengadilan Agama pada tahun 2020 (Badilag, 2020). Menurut Dosen Departemen Hukum Perdata Universitas Padjajaran, Dr. Susilowati Suparno, M. H., peningkatan angka tersebut salah satunya ditengarai akibat permasalahan ekonomi.


Di masa pandemi, banyak orang tua yang kehilangan pekerjaan mereka sehingga berimbas pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga. Kemudian masih ada sebuah konsep yang dianut bahwa beban orang tua akan berkurang jika menikahkan anaknya. Dengan demikian, anak tersebut dapat hidup mandiri tanpa bergantung pada orang tua lagi. Pemikiran semacam ini tidak jarang digunakan beberapa orang tua sebagai alasan untuk menikahkan anaknya di usia dini. Kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar di rumah juga menjadi pemicu maraknya pernikahan dini. Aktivitas ini mengakibatkan beberapa anak lebih leluasa dalam bergaul di lingkungan sekitar, termasuk untuk menjalin hubungan romantis yang kemudian berujung pada praktik pernikahan dini. Entah dilakukan untuk mengurangi risiko hal-hal yang tidak diinginkan atau sudah berujung pada hal-hal tersebut, diputuskan bahwa “menikah dini” adalah jawabannya.


Selain faktor-faktor di atas, masih terdapat beberapa alasan lain yang menjadi penyebab praktik pernikahan dini. Yakni rendahnya tingkat pengetahuan terhadap kesehatan reproduksi dan juga peran orang tua. Oleh karena itu perlu kita pahami bahwa pernikahan dini bukanlah satu-satunya solusi untuk permasalahan di atas. Pernikahan dini justru dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti hubungan seks yang tidak aman, kekerasan seksual, kehamilan yang berisiko, dan bahkan gangguan kesehatan mental.


“Apa saja risiko yang mungkin terjadi jika anak melakukan pernikahan dini?”


Penyakit Menular Seksual

Hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan di bawah 18 tahun akan lebih berisiko terkena penyakit menular seksual. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi yang kemudian berujung pada hubungan seksual yang tidak aman atau bahkan berisiko.


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menjalani pernikahan dini cenderung mengalami kekerasan dari pasangannya. Hal tersebut dipicu oleh pola pikir yang belum matang untuk menjalani rumah tangga. Sehingga kerap mengedepankan ego dan kurang kontrol terhadap emosi.


Kehamilan Berisiko

Kehamilan pada usia dini bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Bahkan, hal tersebut cenderung berisiko serta membahayakan kondisi ibu dan janin. Selalu ada kemungkinan bahwa calon ibu tidak dalam kondisi yang siap baik secara fisik maupun mental. Selain tidak siap, kurangnya kesadaran dan pengetahuan terkait merawat kandungan serta diri sendiri juga termasuk faktor yang membuat kehamilan usia dini menjadi berisiko.


Masalah Psikologis

Pernikahan dini dapat dikatakan merampas masa tumbuh kembang anak. Baik itu bagi pihak perempuan, maupun pihak laki-laki. Hal ini tentu berdampak pada aspek psikologis karena mereka secara mental belum siap menghadapi perubahan peran berikut dinamika rumah tangga. Dalam teori Erikson mengenai tahap perkembangan sosial/psikososial, pada masa ini individu dihadapkan pada penemuan diri, tentang siapa mereka sebenarnya, ke mana mereka akan melangkah dalam hidup ini, banyaknya peran baru yang menanti mereka, hingga status kedewasaan.


“Lantas, hal apa yang bisa dilakukan untuk mencegah pernikahan dini?”


Sebagai upaya pencegahan bahaya kesehatan sang anak yang diakibatkan dari pernikahan dini, baik itu bersifat fisik atau psikis, maka penting untuk memberikan edukasi pada anak maupun orang tua. Ada beberapa metode yang dapat dilakukan, seperti memberikan informasi terkait pernikahan dini, memberikan pelatihan keterampilan pada anak, dan menanamkan kesadaran akan risiko-risiko yang akan terjadi kemudian. Persebaran informasi secara masif dapat dilakukan melalui berbagai media, terlebih di era digital seperti saat ini. Dan tentunya juga diperlukan peran sekolah, sehingga wawasan tidak hanya diperoleh di rumah saja namun juga di luar rumah. Melalui edukasi, pemikiran anak serta orang tua akan terbuka dan yakin bahwa apapun alasannya, pernikahan dini tetap tidak dianjurkan untuk dilakukan. So, stop pernikahan dini!



Referensi:


69 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page