Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar pernikahan? Kebahagian, saling mencintai, dan hal-hal indah lainnya yang terbayangkan. Memang pernikahan merupakan hal yang indah dan membahagiakan, namun apabila pernikahan tersebut tidak berdasarkan kesiapan, semua hal indah akan berubah menjadi menyeramkan dan saling menyakiti. Bahkan lebih menyeramkan dari film horor di bioskop kesayangan anda.
Pernikahan di usia muda bukan lagi menjadi suatu hal yang tabu, apalagi untuk di daerah yang jauh dari keramaian masyarakat. Para gadis yang usianya masih di bawah 18 tahun sudah menikah dan memiliki seorang anak. Padahal menurut Pasal 1 No. 26 UU No.13 Th. 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. Nah loh, anak-anak kok punya anak? Lucu, sekali.
Menikah di usia muda pada zaman dahulu bukanlah sesuatu yang aneh atau melanggar norma, bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah tradisi yang melekat. Mereka (para orang tua) memiliki kepercayaan kuat terkait mitos anak perempuan, sehingga tradisi tersebut semakin mengikat dan tidak dapat ditolak. Contohnya, Sutik, perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah, pertama kali dijodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah tersebut yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Suwandi, selaku pegawai pencatat nikah berujar bahwa, ”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku." Demikianlah, kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan melakukan pernikahan dini.
Berbagai cara dilakukan agar pernikahan dapat dilaksanakan, mulai dari memaksa perangkat setempat untuk mempermudah urusan administrasi, memberikan uang pelicin, hingga memanipulasi usia anak. Seperti kasus yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang dinikahkan oleh orang tuanya. Karena usia sang anak tak memungkinkan untuk mendapatkan legalitas hukum, maka pernikahan dilakukan secara agama. Apabila orang tua menginginkan akta nikah, maka harus meminta persetujuan dari pengadilan. Namun karena terhalang usia anak yang masih di bawah umur, maka memanipulasi usia anak untuk 'sah di mata hukum' menjadi satu-satunya pilihan.
Bahkan pada tahun 2015 muncul sebuah gerakan di media sosial menyerukan agar anak muda tidak pacaran karena dinilai sebagai 'bentuk kemaksiatan,' Yups… gerakan Indonesia Tanpa Pacaran. Digagas pada 7 September 2015, Gerakan ini mengarah kepada pelajar dan mahasiswa—kelompok usia yang labil di tengah pencarian identitas dan masa depan. Penggagas nya adalah La Ode Munafar seorang anak muda dari Sulawesi Tenggara dan berkuliah di salah satu kampus di Yogyakarta. Munafar menyebarluaskan gerakan ini di Instagram, Facebook, dan Line karena menerima banyak curahan hati dari remaja yang mengakui masa depannya rusak karena berpacaran. Gerakan ini menyampaikan sebuah konsep “menikah muda lebih baik daripada pacaran”. Munafar meyakini bahwa konsep tersebut lebih cocok untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, agar terhindar dari praktik perzinahan. Pada kenyataannya gerakan tersebut malah menimbulkan perilaku ketidakadilan. Seperti yang terjadi pada keluarga Fitri, perempuan asal Bandung, yang mengenal gerakan Indonesia Tanpa Pacaran melalui Facebook pada tahun lalu. Para sepupu Fitri memilih taaruf untuk menjauhi perbuatan zina dan mendapatkan pasangan terbaik untuk masa depan. Namun malang rupanya, alih-alih bahagia, yang terjadi selanjutnya justru perlakuan diskriminatif. Salah satunya yakni dilarang melanjutkan pendidikan.
Konsep “pernikahan dini untuk menghindari zina” juga pernah diangkat dalam sebuah riset. Pada tahun 2019 yang lalu sebuah riset diadakan di berbagai kota lintas provinsi. Di Tuban (Jawa Timur), Mamuju (Sulawesi Barat), dan Bogor (Jawa Barat), ditemukan bahwa para orang tua meminta dispensasi agar bisa menikahkan anak perempuan mereka meski belum cukup umur. Alasan yang dikemukakan tidak jauh berbeda seperti Munafar.
"Para orang tua khawatir jika anak-anak mereka akan melakukan perzinahan, terutama ketika sudah mulai menjalin hubungan asmara."
Di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum usai, terjadi lonjakan angka pernikahan dini di Indonesia. Alasan orang tua yang menikahkan anak mereka yang masih remaja karena perihal ekonomi. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa dengan menikahkan anak, beban orang tua akan berkurang karena hidup anak tersebut akan menjadi tanggung jawab pasangannya setelah menikah. Tidak sedikit pula orang tua yang beranggapan bahwa anak akan memiliki kehidupan yang lebih baik setelah menikah. Padahal, bila anak tersebut putus sekolah, justru hanya akan memperpanjang rantai kemiskinan. Pernikahan dini juga lebih banyak terjadi pada golongan masyarakat menengah ke bawah.
Pernikahan dini bukanlah sebuah solusi, dengan pernikahan dini justru bisa menimbulkan perkara lain. Mulai dari masalah terkait risiko fisik, psikologi, bahkan hingga sosial. Lalu, bagaimana upaya yang harus kita lakukan untuk menekan angka pernikahan dini bahkan hingga menghapusnya di Indonesia?
Keep calm guys… yuk kita simak lagi.
Untuk melindungi anak-anak dari pernikahan dini, berbagai penelitian menyarankan setidaknya tiga tindakan yang diperlukan:
1. Menekankan Pentingnya Pendidikan Formal
Riset menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi dalam mencegah pernikahan dini. Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan maka angka pernikahan di usia muda akan berkurang. Agar anak perempuan tetap di sekolah dan tidak menikah pada usia anak, pemerintah harus memastikan bahwa perempuan menerima hak mereka untuk ikut serta dalam program wajib belajar 12 tahun. Kemudian menambahkan beberapa poin dalam kurikulum sekolah dan memberikan pelatihan pada guru. Sehingga materi dan topik seperti keterampilan hidup, kesehatan seksual dan reproduksi, HIV/AIDS, dan kesadaran peran gender sudah disampaikan sejak di bangku sekolah.
2. Memberikan Pendidikan Seksual Komprehensif
Banyak anak di Indonesia tidak mengetahui bahwa berhubungan seksual dapat berujung pada kehamilan dan akhirnya dipaksa untuk melakukan pernikahan. Sebuah penelitian dari Aliansi Remaja Independen pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur mengakui bahwa mereka telah mengandung sebelum menikah. Mereka tidak tahu bahwa kehamilan dini akan meningkatkan risiko kematian dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang mengandung di usia 20-an. Pemerintah Indonesia harus memberikan pendidikan seks yang komprehensif dengan memasukkan pembelajaran tentang isu-isu seputar hak asasi manusia, ketidaksetaraan gender dan perilaku mendominasi dalam hubungan ke dalam kurikulum sekolah dengan bimbingan para ahli dalam bidangnya.
3. Menghilangkan pemahaman yang konservatif
Kelompok-kelompok konservatif telah menciptakan gerakan mendukung pernikahan dini. Mereka percaya pernikahan dini akan melindungi diri dari dosa perzinahan. Salah satunya adalah gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang sudah diulas sebelumnya. Lalu bagaimana agar pemahaman seperti ini tidak semakin meluas? Open minded! Ya.. kalian harus berpikir secara terbuka dalam melihat dua sisi. Kalian harus pahami dulu apa itu pernikahan dan apa dampak yang ditimbulkan jika dilakukan di usia dini. Sehingga kita dapat melawannya dan meyakinkan orang-orang bahwa gerakan tersebut tidak tepat. Oleh karena itu, kita harus bisa memperoleh informasi dari sumber-sumber kredibel, memilah dan memilih mana yang baik untuk diserap. Selain itu, diperlukan juga gerakan masif dari pemerintah untuk menyuarakan perihal tersebut agar masyarakat semakin teredukasi.
Guys… gimana? Ternyata menikah di usia muda bukan suatu hal yang menyenangkan dan indah layaknya di negeri dongeng. Butuh kesiapan yang tidak sedikit. Mental, fisik, hingga finansial adalah aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk menjalani pernikahan.
Dan peran orang tua dalam hal ini juga sangat penting, dengan memberikan edukasi seputar pernikahan kepada anak-anaknya. Sebab di media sosial banyak bertebaran kisah-kisah indah terkait menikah di usia muda. Kehidupan pernikahan mereka yang tampak menyenangkan tak henti-hentinya berseliweran. Salah satu contohnya yakni pernikahan Muhammad Alvin Faiz (putra sulung mendiang Ustad Arifin Ilham) dengan Larissa Chou. Alvin memutuskan untuk menikah dengan Larissa pada 6 Agustus 2016 silam. Saat itu usia Alvin baru menginjak 17 tahun, 3 tahun lebih muda dari Larissa. Selalu terlihat romantis, Alvin dan Larissa justru membuat publik kaget lantaran memutuskan bercerai setelah 5 tahun menikah. Tuh kan? Tidak ada jaminan kalau menikah di usia muda maka akan bahagia selamanya. Kisah mereka dapat kita jadikan sebuah pembelajaran untuk berpikir dengan lebih matang dan dewasa.
Maka dari itu, yuk guys... mari kita sama-sama meningkatkan wawasan dan mengingatkan lingkungan sekitar mengenai bahaya pernikahan dini. Kalau tidak dimulai dari kita, lalu siapa lagi?
Ada banyak jalan untuk menciptakan dan meraih kebahagiaan, namun pernikahan dini bukanlah salah satunya. Katakan tidak untuk pernikahan dini!
Penulis : Maya Sucilestari
Referensi:
Arni, N. (2009, 16 November). “Kuatnya Tradisi, Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini”. https://www.dw.com/id/kuatnya-tradisi-salah-satu-penyebab-pernikahan-dini/a-4897834
Badan Pusat Statistik, Kementerian PPN/Bappenas, dan UNICEF. (2020). Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda. https://www.unicef.org/indonesia/media/2851/file/Child-Marriage-Report-2020.pdf
Priherdityo, E. (2016, 23 Juli). “Pernikahan Bawah Tangan dan Manipulasi Data Usia”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160723080852-277-146518/pernikahan-bawah-tangan-dan-manipulasi-data-usia
“Ini 5 Alasan Pernikahan Dini Tidak Disarankan”. (2021, 25 Agustus). https://www.alodokter.com/ini-alasan-pernikahan-dini-tidak-disarankan
“Indonesia Tanpa Pacaran Berpandangan Sempit?”. (2016, 16 Agustus). https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/08/160815_trensosial_pacaran
National Geographic Indonesia. (2019, 3 Oktober). “3 Hal yang Perlu Dilakukan Indonesia untuk Mencegah Pernikahan Anak”. https://nationalgeographic.grid.id/read/131872209/3-hal-yang-perlu-dilakukan-indonesia-untuk-mencegah-pernikahan-anak?page=all
Comments