top of page
Writer's pictureWomen's Empowerment Indonesia

“Saya Perempuan. Dan Saya adalah Perempuan yang Lelah.”

Updated: Oct 6, 2021


Sumber gambar : gender equality


Saya lelah menjadi perempuan. Ya, saya punya hak untuk berkata demikian, tapi tidak di rumah ini. Inilah nasib saya, tinggal bersama kakek dan nenek. Entah saya yang berpikiran terlalu liar atau mereka yang sangat berpegang teguh dengan prinsip dan norma mengenai ‘perempuan’.

Ya, kita semua menganggap golongan ini ‘boomer’, dengan segala ketidakcocokan pemikiran dan perspekif yang ada di dalamnya. Ruang diskusi dan argumen sangat sempit, bahkan lebih sering tidak ada.

Nenek saya sebenarnya lebih sabar, tetapi tetap saja secara naluriah dan memang sudah menjadi ajaran yang mendarah daging, kata-katanya tidak jauh dari, “Nanti kalau sudah berumah tangga nggak kasian sama suamimu? Kamu juga harus pintar masak.”, yang dalam

hati saya jawab “Nanti saya cari suami yang pekerjaannya chef.”, karena saya kesal.


Kakek saya, sangat strict.

“Perempuan kok duduknya begitu.”
“Perempuan itu tertawanya tidak teriak-teriak seperti itu.”
“Kalau makan kakinya tidak naik ke kursi!”

Dan, masih banyak lagi


Suatu hari, saya melihat dia menonton televisi dengan satu kakinya diselonjorkan di atas meja kaca yang biasa digunakan untuk menaruh makanan. Dalam hati saya hanya tertawa kecut. Oh, betapa sedihnya menjadi perempuan.


Kami juga butuh ruang bebas. Di mana hal sepele seperti cara atau gaya duduk tidak menjadi suatu hal yang besar. Sering kali semua contoh perkataan di atas disangkut pautkan dengan ketakutan akan menjadi suatu kebiasaan di luar rumah, seperti bertamu ke tempat orang lain.


Well, saya bukan anak kecil. Saya tahu bagaimana harus bersikap. Kita semua, para manusia

lelah ini sudah mati-matian menjaga diri di luar sana. Bersikap sebagaimana yang orang lain

inginkan. Apa tidak adakah ruang ‘bebas’ untuk menjadi diri sendiri?


Bisa dibilang, ini semua curahan sakit hati. Yang selama ini ketika saya bercerita atau

mengeluh selalu mendapat respon paling positif di dunia, “sabar, namanya juga orang tua.”.

Semua tentang keperempuanan ini, membuat saya merasa tidak menjadi perempuan. 
Perempuan yang lemah lembut dan penurut, menjadi perempuan yang lemah dan penakut. 
Perempuan yang ekspresif dan ceria, menjadi perempuan yang datar dengan senyum dingin.

Kenyataannya, saya memang hanya bisa sabar. Selain itu, sebagai umat beragama yang

menjunjung tinggi penghormatan pada orang tua, saya juga harus mengimani itu. Saat ini

penenang saya hanyalah utopia dalam benak tentang kehidupan yang tenang ketika sudah stabil secara finansial, dan tentu saja keluar dari rumah ini.


Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling tenang dari hiruk pikuk dunia dan segala

‘printilan’-nya, justru menjadi dunia kedua yang harus saya hadapi. Kamar adalah penyelamat terakhir saya, namun tidak untuk saat ini.


Jujur, jika ditanya saya juga bingung sendiri. Sebenarnya apa yang salah? Saya dengan identitas keperempuanan saya, atau pola pikir yang tidak sesuai zaman? Kalau saya dalami kembali, saya bisa menempatkan kedua jawaban itu ke dalam kategori salah. Salah, karena saya dengan identitas keperempuanan saya seharusnya mampu mengendalikan ego, sebagaimana seorang perempuan berperilaku dalam merespon suatu hal, calm and classy. Salah, karena pola pikir yang dipaksakan dengan zaman yang telah berubah dengan dinamika super cepat ini. Sebagaimana yang dikatakan salah satu orang yang dimuliakan dalam agama saya, Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya.”. Apakah saya tidak termasuk dalam nasehat sahabat Ali bin Abi Thalib, karena secara logika saya ini cucu, bukan anaknya.


Bertahan dan membebalkan diri menjadi goals saya setiap hari. Sabar bahkan menjadi identitas baru dalam diri saya. Ketika perempuan lain dengan berani menunjukkan siapa diri mereka, saya harus pintar menutupi diri. Saya mengaku, saya belum punya nyali untuk membuat lompatan besar.


Marah dan kesal saya, berakhir menjadi bentuk merefleksikan diri. Yang kemudian menjadi

kegiatan rutin sebelum memejamkan mata di malam hari. Menyita waktu istirahat saya

sehingga menyambut pagi esok dengan lelah yang baru.


Dengan semua yang tersisa pada diri saya yang masih terhitung ‘waras’, mencoba untuk

menjadi ‘baik’ versi saya di rumah ini. Tidak dengan melanggar apa yang dilarang, dan

menjalankan apa-apa yang diminta dengan sesempurna mungkin. Terkadang saya berfikir, jika ada anak laki-laki di rumah ini, apakah saya akan berakhir lebih buruk? Saya tidak

menyalahkan laki-laki. Hanya sedikit iri.


Tetapi jika saya terlahir sebagai laki-laki atau ada anak laki-laki lain di rumah ini, pasti akan

menerima maskulinitas yang luar biasa, parahnya. Laki-laki dengan semua kegagahan,

kekuatan, kewibawaan.. ini semua bisa menjadi faktor timbulnya kegilaan dalam diri individu. Baik laki-laki maupun perempuan, semua hanya menginginkan diakui, atas sebagaimana diri

mereka, tanpa perlu memenuhi tuntutan. Tetapi ini adalah hal yang mustahil terjadi.


Penerimaan apa-apa yang ada dalam hidup diri individu merupakan suatu hal yang sangat

susah. Dan kita menjalani ini setiap hari, dengan ketidakjujuran pada diri sendiri. Pengakuan

yang hanya diakui dalam hati.


Saya dengan semua serpihan yang tersisa pada diri saya, hanya bisa bertekad untuk memutus rantai pola pikir tentang ‘perempuan’ ini. Semoga juga dengan pola pikir ‘laki-laki’. Dengan tidak menjadi ‘kakek-nenek’ saya yang selanjutnya. Biar ini jadi pahit saya, dan bekal untuk membesarkan anak-anak saya kelak.


Saya pernah membaca suatu kalimat seperti ini,

“..semua yang disimpan dalam hati sama seperti bubuk mesiu. Perlahan membukit, dan tinggal menunggu waktu untuk meledak layaknya bom waktu..”

Dan saya biarkan bom waktu ini meledak dalam bentuk rangkaian kalimat.

50 views0 comments

Recent Posts

See All

コメント


bottom of page