L I F E S T Y L E
Sustainable
Fashion
What you need to know.. ?
MENGENAL
FAST FASHION
Sejarah awal fashion dimulai saat sebelum revolusi industri sekitar tahun 1800-an, pada saat itu fashion adalah sesuatu yang fancy karena dibuat dengan ketelitian dan masih menggunakan tangan (handmade) dan hanya kalangan atas lah yang memiliki akses untuk tampil berbeda. Semakin memasuki zaman modern, kemudian ditemukan teknologi mesin jahit pada saat revolusi industri. Akibatnya, pakaian dan berbagai jenis barang fashion menjadi lebih cepat di produksi, murah, dan mudah diakses oleh banyak kalangan. Pabrik kain dan garmen pun mulai bermunculan. Seiring meningkatnya permintaan pasar, fashion dibuat lebih cepat dan murah. Konsekuensinya, barang fashion diproduksi dengan bahan baku berkualitas rendah dan tanpa kontrol yang baik sehingga tidak bertahan lama.
Fast Fashion dapat didefiniskan sebagai fashion dengan model yang cepat beradaptasi dan harga yang murah. Untuk mewujudkan ini semua, industri fast fashion menggunakan bahan baku yang murah dan berkualitas rendah. Industri ini sering kali mengorbankan keselamatan pekerja dan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Pabrik dan industri garmen yang memproduksi barang-barang fast fashion umumnya terletak di Asia karena melihat potensi SDM nya yang banyak. Jumlah pekerja wanita mencapai 80% pada industri garmen dengan jam kerja yang sangat panjang, upah rendah, dan dalam kondisi kerja yang berbahaya untuk memproduksi barang-barang fast fashion. Pekerja yang dipilih kebanyakan adalah wanita dengan pendidikan rendah, serta imigran. Anak-anak mulai dari usia 14 tahun juga mulai dipekerjakan selama 14 jam per hari dengan upah rendah. Para pekerja tidak mendapatkan fasilitas yang layak seperti asuransi dan keselamatan kerja, serta adanya potensi pelecehan seksual yang dialami di industri garmen di India mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Puncaknya adalah saat tragedi Rana Plaza, sebuah kompleks industri pakaian di Bangladesh roboh pada tahun 2013. Tragedi ini menewaskan setidaknya 1.132 orang dan melukai 2.500 orang lainnya. Tragedi ini merupakan tragedi terburuk dalam sejarah industri fashion dunia.
Fast fashion isn’t free. Someone, somewhere is paying.”- Lucy Siegle.
LIMBAH FASHION
Penyebab polusi terbesar kedua setelah industri perminyakan adalah berasal dari industri tekstil dan fashion. Ya benar, fashion penghasil limbah cair sebanyak 20%. Menurut United Nations Climate Change News, bahwa industri fashion berkontribusi terhadap 10% emisi gas rumah kaca karena memerlukan distribusi panjang dan proses produksi energi sangat tinggi.
Environmental Protection Agency telah melaporkan terkait limbah tekstil. Contohnya di Amerika Serikat, sebanyak 15,1 juta ton limbah tekstil dihasilkan selama tahun 2013 dan 12,8 juta ton di dalamnya terbuang sia-sia. Padahal, sebanyak 95% limbah tekstil yang terbuang ke TPA dapat didaur ulang. Dari proses produksi, 15% kain yang digunakan untuk produksi barang fashion berakhir terbuang percuma karena proses pemotongan. Selain itu, pada tahun 2010, 60% dari 69,7 juta ton konsumsi kain di dunia adalah kain berbahan sintetik, seperti polister dan spandex. Hal ini menjadikan industri fashion sebagai penyumbang sebanyak 35% mikroplastik di laut dalam bentuk microfibers yang dihasilkan dari kain berbahan sintetik.
Hal tersebut tentu saja ulah dari proses produksi dan pemasaran industri fashion yang cepat berganti mengkuti tren dari konsumen, juga pola konsumsi konsumen yang hanya ingin memakai barang-barang fashion sesuai dengan tren masa kini. Kita perlu memahami industri fashion dan bagaimana alternatif kita dalam tetap bergaya sesuai zaman tanpa merusak lingkungan.
MENGENAL
SUSTAINABLE FASHION
ASK
BEFORE BUY.
Alternatif fashion selain fast fashion adalah sustainable fashion, yaitu bisa didefiniskan sebagai pakaian, sepatu, dan segala aksesoris pendamping yang diproduksi, dipasarkan, dan digunakan dengan cara yang paling berkelanjutan. Tentunya dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dari aspek sosial dan ekonomi, sustainable fashion memperhatikan lingkungan dan kondisi pekerja di lapangan, pabrik, toko, dan selama proses distribusi sehingga sesuai dengan kode etik internasional. Dari aspek lingkungan, sustainable fashion memiliki tujuan untuk meminimalisasi dampak lingkungan yang dihasilkan selama proses produksi hingga masa akhir pemakaian produk. Misalnya, dengan menggunakan energi dan sumber daya (air, tanah, hewan, tumbuhan, ekosistem, dll) secara efisien dan hati-hati, menggunakan energi terbarukan, dan memaksimalkan 4R. Repair (memperbaiki), remake (membuat kembali), reuse (menggunakan kembali), dan recycling (mendaur ulang produk-produk beserta komponennya).
Selain perusahaan, sustainable fashion juga bergantung pada pola konsumsi dan penggunaan barang-barang fashion. Hal ini membuat kita sebagai konsumen barang-barang fashion—berperan penting untuk menggunakan barang-barang fashion secara lebih berkelanjutan. Dr. Anna Brismar (2019) dari Green Strategy mendefinisikan tujuh bentuk fashion yang lebih berkelanjutan dari segi produsen dan konsumen. (gambar tujuh bentuk fashion yang lebih berkelanjutan (sumber: Greenstrategy.se)
Diagram dari Green Strategy ini menunjukkan bahwa dari segi produsen, fashion berkelanjutan adalah yang dibuat sesuai kebutuhan (on demand & custom made), ramah lingkungan (green & clean), memiliki kualitas yang baik dan desain yang dapat dipakai sepanjang masa (high quality & timeless design), serta memperhatikan kode etis dan berdangang dengan adil (fair & ethical). Dari segi konsumen, kita berperan penting untuk menentukan dan memilih fashion yang lebih berkelanjutan. Caranya adalah dengan memperbaiki, mendesain ulang, dan mengalihfungsikan barang-barang fashion (repair, redesaign, upcycle), meminjam, menyewa, dan bertukar (rent, lease, swap), serta membeli baju bekas (secondhand & vintage).
“Clothes aren’t going to change the world, the women who wear (and make) them will.” – Anne Klein
TIPS menggunakan prinsip 5R dalam fashion, yaitu:
1. Rewear: gunakan lagi dan lagi
2. Repair: perbaiki yang rusak
3. Reimagine: gunakan dengan cara yang berbeda
4. Repurpose: alih fungsikan menjadi sesuatu yang lain.
5. Regift or Resell
Sumber: Instagram.com/khaya.heritage
Dengan begini, produsen dan konsumen dapat berssama-sama membentuk sebuah ekosistem fashion yang lebih sirkular dan berkelanjutan. Semua itu bertujuan untuk mengurangi limbah tekstil yang terbuang ke TPA dan berpotensi dapat merusak lingkungan.
Sustainability is Sexy:
Alternatif Kain Ramah Lingkungan
______________________________
Selain mencoba untuk tidak membeli pakaian baru, kita juga harus mulai beralih dan memperhatikan dari bahan apa pakaian kita dibuat. Bahan pakaian yang paling ramah lingkungan tidak hanya berasal dari alam, tetapi juga proses produksi bahan baku, pembuatan kain, hingga akhir masa pakainya tidak membahayakan lingkungan. Jika terpaksa harus membeli pakaian baru, maka usahakan memilih jenis kain yang ramah lingkungan.
Berikut kain ramah lingkungan:
1. Linen
Linen terbuat dari tanaman rami dan hanya menghasilkan limbah yang sedikit karena sebagian besar produk sampingannya dapat dimanfaatkan dengan baik, seperti minyak biji rami. Proses produk linen juga tidak menggunakan bahan kimia dan membutuhkan sedikit air daripada katun.
2. Hemp
Tanaman hemp dapat tumbuh dengan cepat dan menghasilkan lebih banyak serat daripada linen atau katun. Proses produksi serat hemp juga tidak melibatkan proses kimia. Tanaman ini dapat menghasilkan biji dan minyak. Kain dari hemp memiliki daya serap yang kuat dan dapat dikomposkan.
3. Tencel
Kain Tencel terbuat dari pohon eucalyptus (kayu putih) yang tumbuh di Australia dan Indonesia. Pohon kayu putih tidak membutuhkan pestisida bercaun dan hanya membutuhkan sedikit air. Tencel juga menyerap pewarna dengan sangat baik. Tekstur dari Tencel sama seperti kain rayon.
4. Katun organik
Salah satu perbedaan mendasar antara katun konvensional dan katun organik adalah penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimia dalam proses penanaman dan pembuatannya. Artinya, katun organik menciptakan kondisi kerja yang lebih aman dan sehat bagi para pekerjanya. Selain itu, juga lebih aman bagi lingkungan. Proses produksi katun organik membutuhkan lebih sedikit air daripada katun konvensial. Kain katun organik dapat dikomposkan pada akhir masa pakainya.
By : Farah Diba
Sumber :
Sasetyaningtyas, Dwi. Sustaination: Gaya Hidup Berkesadaran dengan Produk Ramah Lingkungan. 2019.
Fermina. Lifestyle: Cara Terkini Hidup Ramah Lingkungan. 2020.
Comments