top of page
Writer's pictureWomen's Empowerment Indonesia

Men in #MeToo: Suara Penyintas Laki-laki yang Dianggap Mitos

'Laki ya harus LAKIK. Masa gak ngelawan, sih?'


Patriarki dinilai selalu merugikan perempuan. Tapi nyatanya, patriarki juga merugikan laki-laki. Anggapan bahwa laki-laki harus menjadi superior, tidak boleh kalah ataupun lemah, menjadikan korban kekerasan seksual laki-laki kerap kali malu jika mengalami kekerasan seksual. Beban harus selalu kuat dan tangguh, menjadikan korban laki-laki enggan meminta pertolongan setelah mengalami kekerasan seksual. Masih banyak orang yang mengira laki-laki tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual ataupun 'kalah' saat mengalaminya.


Berikut mitos-mitos kekerasan seksual pada laki-laki:


1. Laki-laki Tidak Mungkin Jadi Korban


Kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan atau anak-anak. Kekerasan seksual tidak memandang jenis kelamin, usia, latar tempat, atau waktu. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Anggapan bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual adalah angin belaka. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan 1 dari 38 laki-laki pernah mengalami perkosaan selama hidupnya. Dengan 1 dari 4 laki-laki mengalaminya di usia 11-17 tahun, dan 1 dari 4 korban laki-laki melaporkan mengalami kekerasan seksual sebelum menginjak usia 10 tahun. Kekerasan seksual tidak mengenal jenis kelamin.


2. Laki-laki kan Kuat, Gak Mungkin dong Dilecehkan Perempuan


Beberapa studi menyatakan bahwa kekerasan seksual pada laki-laki dikenal sebagai tindakan untuk mempermalukan, penyiksaan seksual atau agresi. Pelaku kekerasan seksual memiliki variasi umur dari usia 12 hingga 41 tahun. Dengan jenis kelamin bervariasi antara laki-laki dan perempuan. Menunjukan bahwa perempuanpun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Selain itu, ditemukan bahwa pelaku dari kekerasan seksual pada penyintas laki-laki bisa dilakukan lebih dari 1 orang.


3. Laki-laki yang Melakukan Kekerasan Seksual pada Laki-laki Lain Pastilah Homoseksual


Selain tidak memandang jenis kelamin, usia, latar tempat, dan waktu, pelaku kekerasan seksual juga tidak memandang orientasi seksual. Sebuah studi menyatakan bahwa laki-laki lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual saat berada di lingkungan yang homogen berjenis kelamin laki-laki. Orientasi seksualpun tidak dapat dijadikan alasan atas tindakan non-konsensual ini.


4. Jika Laki-laki Mengalami Ereksi Saat Diperkosa Maka Ia Menikmatinya


Mitos ini terdengar pada setiap korban kekerasan seksual. Mengalami ereksi sampai ejakulasi saat diperkosa dianggap menikmati seks non-konsensual tersebut. Padahal, ereksi sampai ejakulasi merupakan reaksi saat tubuh merasa tertekan. Termasuk saat ujian atau tampil di depan publik atau mengalami ketakutan dihukum maupun keraguan tidak bisa menyelesaikan pekerjaan. Groth dan Burgess menyatakan bahwa beberapa pelaku sengaja memaksa korban untuk ejakulasi sebagai simbol bahwa korban ada dalam kendali penuh pelaku yang dapat memenuhi fantasi pelaku bahwa korban sebenarnya ingin diperkosa dan dapat merenggut kredibilitas korban untuk tindakan non-konsensual dalam persidangan.


5. Laki-laki yang Diperkosa Pasti Akan Memiliki Orientasi Seksual Menyukai Sesama Jenis


Tidak ada penelitian yang menemukan bahwa korban kekerasan seksual akan mengalami perubahan dalam orientasi seksualnya. Trauma yang diberikan tidak lantas membuat korban menjadi takut pada jenis kelamin dari pelaku dan memilih untuk menyukai jenis kelamin yang berlawanan dari pelaku. Trauma merupakan proses rumit yang dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan dari korban. Namun sampai saat ini, masih tidak ditemukan penelitian bahwa kekerasan seksual dapat mengubah orientasi seksual seseorang.


Mitos-mitos ini perlu dihapuskan karena laki-laki yang juga menjadi korban kekerasan seksual berhak dilindungi. Fakta bahwa mitos ini tidak hanya kental pada masyarakat tapi juga pada lembaga bantuan sangat mengkhawatirkan. Menandakan kalau laki-laki sebagai korban kekerasan seksual benar-benar masih dianggap sebelah mata.


Penelitian yang dilakukan pada lembaga bantuan di Amerika menyatakan bahwa mereka tidak melayani korban laki-laki karena stereotype yang ada pada korban laki-laki, seperti: ''laki-laki tidak mungkin diperkosa'' atau ''mereka melakukan hubungan badan karena memang mau''.


30 lembaga yang setuju untuk diwawancarai lebih lanjut menyatakan kalau mereka memang tidak menyediakan layanan untuk korban laki-laki,10 dapat melayani korban laki-laki tapi tidak pernah memiliki kesempatan, 5 pernah melayani korban laki-laki setidaknya 1 di masa lalu, dan 19 tidak bisa menyediakan layanan tersebut. Berbeda dengan Inggris Raya, di mana sebelum 1994, peraturan terkait kekerasan seksual hanya memasukkan perempuan sebagai korban. Laki-laki dianggap tidak bisa atau tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual. Mitos-mitos yang dipecahkan satu persatu cukup menjadi bukti bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban dan lembaga bantuan maupun masyarakat juga perlu memberikan ruang aman bagi laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual.


REFERENSI


Bullock, M Clayton & Beckson, Mace. (2011). Male Victims of Sexual Assault: Phenomenology, Psychology, Physiology. The Journal of American Academy of Psychiatry and The Law Online April 2011, 39 (2) 197-205.


Centers for Disease Control and Prevention. (2021). Sexual violence is preventable. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses darinhttps://www.cdc.gov/injury/features/sexual-violence/index.html.


Common Myths about Sexual Assault. Diakses dari https://www.healthywa.wa.gov.au/Articles/A_E/Common-myths-about-sexual-assault.


Feldman SS: Anxiety and orgasm. Psychoanal Q 20:528–49, 1951.


King M, Woollett E: Sexually assaulted males: 115 men consulting a counseling service. Arch Sex Behav 26:579–88, 1997.


Mezey GC, King MB: Male Victims of Sexual Assault (ed 2). Oxford: Oxford University Press, 2000.


Propat P, Rosevear W: Sexual assault of males, in Without Consent: Confronting Adult Sexual Violence. Edited by Easteal PW. Canberra ACT, Australia: Australian Institute of Criminology, 1993, pp 219–35G.


Redmond DE, Kosten TR, Reiser MF: Spontaneous ejaculation associated with anxiety: psychophysiological considerations. Am J Psychiatry 140:1163–6, 1983.


Sexual assault of men and boys. RAINN. Diakses dari https://www.rainn.org/articles/sexual-assault-men-and-boys.


Scarce M: Male on Male Rape: The Hidden Toll of Stigma and Shame. Cambridge, MA: Perseus Publishing, 2001.


50 views0 comments

Recent Posts

See All

Commenti


bottom of page